TORA MEKARORONDO
DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT KEWAWONIIAN
Pulau Wawonii terletak di jazirah Sultra bagian Timur dan merupakan wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Pulau tersebut tergolong unik karena berbentuk “ HATI “ atau Love (Cinta), sehingga pulau itu sering di juluki dengan pulau Hati atau pulau cinta.
Bentuk“ HATI atau Love “ pada pulau itu merupakan simbolitas yang memiliki makna hakiki serta kandungan energi mistisisme yang membimbing spritual manusia kearah kebajikan. Sehingga setiap manusia yang mendiami pulau tersebut memiliki getaran rasa, kasih sayang dan cinta yang lahir secara ekspresif untuk memaknai simbol-simbol realitas itu terhadap kecintaan, saling mengasihi dan menyayangi antar sesama dan terhadap lingkungan alam pulau itu. Dengan rasa itu manusia memiliki pandangan yang menentukan arah terkait harmonisasi, ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan hidup yang akan di lauinya. Hati menjadi simbolitas yang harus di terjemahkan lewat sikap, gerak dan tindakan melalui jalinan hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk menyatakan “ Cinta dan Kebajikan “. Sehingga untuk mengurai makna-makna hakiki terhadap kandungan hati tersebut secara mendalam, tentu saja kita akan masuk pada ranah kajian filsafat dan logika. Tuhan menjadikan pulau Wawonii sebagai pulau anugerah, pulau berkah yang memiliki seabrek potensi menjadi primadona, untuk kesejahteraan yang amat menjanjikan bagi setiap penghuninya. Sehingga oleh setiap orang yang berdiam di sana telah memiliki rasa (hati) untuk mencintai pulau tersebut sebagai anugerah besar yang harus di lindungi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat secara komprehensip.
Untuk melindungi kepentingan yang besar tersebut setiap manusia Wawonii memiliki pemikiran dan pandangan yang sama, untuk memahami nilai-nilai sosial yang tumbuh agar menjadi pedoman spritual yang mengikat, untuk menunjukkan arah yang akan di capai oleh sebuah komunitas manusia dalam konteks budaya dan peradaban. Sehingga pada masyarakat Wawonii tumbuh sebuah predikat tata nilai yang di sebut dengan “ TORA MEKARORONDO “ atau Hidup saling menyayangi sebagai frasa yang memiliki nilai yang amat tinggi dan perlu pengkajian mendalam secara filosofis antropologis. Walau demikian dalam memaknai frasa “ Tora Mekarorondo “ dalam konteks filsafat teramat perlu kita melihat dan memahami kaitan antara pulau Wawonii dan filsafat?
Filsafat berasal dari kata Philia yang berarti cinta dan Shofia yang artinya Kebijaksanaan. Pulau Wawonii yang berbentuk " Hati " telah menyimbolkan keduanya, antara cinta dan kebijaksanaan. Kedua hal tersebut menjadi wilayah hati untuk menterjemahkan rasa dalam ekspresi yang mengandung nilai-nilai spritualitas sejati. Dalam tatanan kehidupan antar manusia Wawonii yang terdiri dari berbagai corak dan karakter, hasrat dan keinginan yang beragam, namun berada pada satu bingkai kesatuan budaya dan peradaban, adat istiadat dan tradisi serta, kesatuan bahasa. Maka muncul kecerdasan spritual manusia Wawonii untuk sebuah pandangan kesederhanaan tentang kehidupan yang di dasari dengan nilai-nilai sosial tradisi dan adat istiadat menjadi “ Kepribadian Wawonii “.
Atas dasar pemikiran dan kesatuan pandangan manusia wawonii dalam sebuah tataran kehidupan untuk membentuk kesatuan budaya dan peradaban dalam satu kesatuan pulau yang berbentuk hati, maka muncul Filsafat ke Wawonii an yang di sebut “ TORA MEKA RORONDO “. Yakni faham atau ajaran MONO TRIASISME sebagai pandangan pemikiran yang mendasarkan pada 3 (tiga) esensi dasar kehidupan yakni
1. Mekadampangi ( saling Peduli )
2. Mekapotorai ( saling menghidupi )
3. Mekakokolaro ( saling mengasihi ).
Ketiga unsur dari ajaran tersebut merupakan satu kesatuan tunggal ( Mono Triasisme ) pandangan terhadap sikap dan tindakan manusia sebagai hakikat kodrat pribadi manusia dalam pengabdiannya di atas bumi ini, sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan yang memiliki misi penting yakni untuk kemakmuran bumi dan saling menyayangi antar sesama manusia. Sehingga ajaran ini dapat di sebut sebagai “ Ajaran kasih sayang “ dalam filsafat Psykologi, namun pada aspek yang menyangkut segala kehidupan manusia dapat melakukan interaksi sosial terhadap berbagai aktifitas hidupnya, hingga pada wilayah ini dapat melahirkan filsafat nilai atau Aksiologi.
Sebagai bagian dari misi penting itu maka manusia yang berdiam di Pulau Wawonii atau pulau hati telah Tuhan peruntukkan, memiliki kepekaan rasa, cinta dan kasih sayang serta bijaksana untuk mengurusi kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman serta kebahagiaan hidup bagi seluruhnya yang berdiam di pulau itu. Setiap manusia Wawonii menginginkan hidupnya dalam keadaan baik, sejahtera dan bahagia. Untuk mencapai tujuan itu di perlukan suatu sitem pemikiran yang sesuai dengan hakikat manusia dalam kehidupannya, maka lahirlah pandangan-pandangan filosofi lokal kewawoniian seperti " KAI TORA INIA KATO TORA ", Susamiu Susangku Toramiu Torangku, Mesepe Kato Ombole, Meumpu Kato Ondau, Mepida Kato Malanga, Meboke kato moroso, serta Itaho Topekandai Metaga ronga Mebose Tepobungku dan lain-lain. Semua itu merupakan Glosarium Hikmah dan memiliki kandungan makna hakiki yang harus di urai dalam aplikasi kearifan lokal dan di terjemahkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan baik dalam kehidupan sebagai individu, kelompok/komunitas maupun dalam masyarakat global. Pemikiran ini adalah argumentasi ungkapan/pernyataan, sikap maupun tindakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai indikator manusia yang memiliki karakter, kebajikan, etika serta moral, dalam tatanan kehidupan manusia secara universal untuk menemukan Jatidiri nya yang utuh.
Mono Triasisme ajaran tersebut ( Mekadampangi, Mekapotorai, Mekakokolaro ) bagi masyarakat adat Wawonii, merupakan nilai-nilai dasar yang tumbuh dan berakar sebagai tatanan budaya, adat dan tradisi sebagai pilar utama yang memperkokoh sendi-sendi ajaran kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Mekadampangi memiliki pesan moral dan esensi ajaran bahwa manusia harus menjalin hubungan silaturrahim yang luas, mengembangkan tata pergaulan antar sesama, perhatian dan saling peduli sebagai keluarga dalam tanggung jawab kemanusiaan yang sama, karena manusia memiliki esensi yang sama yakni hamba Allah yang di beri tugas dan amanah yang sama sebagai khalifah fil ardh untuk memakmurkan bumi . Sehingga di antara manusia harus saling membantu ( mekatulungi) dalam hidup dan kehidupannya dan agar setiap beban tanggungjawab hidup merupakan tanggungjawab kebersamaan di antara sesama manusia.
Mekadampangi merupakan sifat realitas manusia sebagai makhluk sosial untuk hidup saling ketergantungan dan saling membutuhkan dengan sesamanaya, sehingga manusia harus selalu menjalin hubungan yang harmonis antar sesamanya untuk hidup rukun, tenteram dan damai. Manusia juga harus mengesampingkan sifat egois atau ke akuan pada dirinya, karena manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ketergantungan dengan yang lain yakni “ Manusia lain (masyarakat), alam dan Tuhan “
Pemikiran filsafat kewawoniian mendasarkan pada filsafat agama, yang memiliki unsur-unsur kepercayaan spritual, karena dimana pada zaman lampau sekitar abad ke 16 Masehi Pulau Wawonii menjadi basis Islam (pintu masuk islam ) pertama sebelum ke daratan Kendari. Hal ini telah membuktikan bahwa Pulau Wawonii di masa lalu merupakan “ HATI “ pengembangan islam yang menjadi ajaran cinta dan kebajikan. Munculnya pemikiran-pemikiran filsafat kewawoniian tidaklah mengherankan, karena di samping agama sebagai basis ajaran dalam tatanan kehidupan untuk saling bersilaturrahim, saling menghidupi atau saling memberdayakan agar memiliki kelayakan hidup juga menciptakan kondisi sosial yang harmonis untuk saling mengasihi, menyayangi dan saling mencintai antar sesama manusia
DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT KEWAWONIIAN
Pulau Wawonii terletak di jazirah Sultra bagian Timur dan merupakan wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Pulau tersebut tergolong unik karena berbentuk “ HATI “ atau Love (Cinta), sehingga pulau itu sering di juluki dengan pulau Hati atau pulau cinta.
Bentuk“ HATI atau Love “ pada pulau itu merupakan simbolitas yang memiliki makna hakiki serta kandungan energi mistisisme yang membimbing spritual manusia kearah kebajikan. Sehingga setiap manusia yang mendiami pulau tersebut memiliki getaran rasa, kasih sayang dan cinta yang lahir secara ekspresif untuk memaknai simbol-simbol realitas itu terhadap kecintaan, saling mengasihi dan menyayangi antar sesama dan terhadap lingkungan alam pulau itu. Dengan rasa itu manusia memiliki pandangan yang menentukan arah terkait harmonisasi, ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan hidup yang akan di lauinya. Hati menjadi simbolitas yang harus di terjemahkan lewat sikap, gerak dan tindakan melalui jalinan hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk menyatakan “ Cinta dan Kebajikan “. Sehingga untuk mengurai makna-makna hakiki terhadap kandungan hati tersebut secara mendalam, tentu saja kita akan masuk pada ranah kajian filsafat dan logika. Tuhan menjadikan pulau Wawonii sebagai pulau anugerah, pulau berkah yang memiliki seabrek potensi menjadi primadona, untuk kesejahteraan yang amat menjanjikan bagi setiap penghuninya. Sehingga oleh setiap orang yang berdiam di sana telah memiliki rasa (hati) untuk mencintai pulau tersebut sebagai anugerah besar yang harus di lindungi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat secara komprehensip.
Untuk melindungi kepentingan yang besar tersebut setiap manusia Wawonii memiliki pemikiran dan pandangan yang sama, untuk memahami nilai-nilai sosial yang tumbuh agar menjadi pedoman spritual yang mengikat, untuk menunjukkan arah yang akan di capai oleh sebuah komunitas manusia dalam konteks budaya dan peradaban. Sehingga pada masyarakat Wawonii tumbuh sebuah predikat tata nilai yang di sebut dengan “ TORA MEKARORONDO “ atau Hidup saling menyayangi sebagai frasa yang memiliki nilai yang amat tinggi dan perlu pengkajian mendalam secara filosofis antropologis. Walau demikian dalam memaknai frasa “ Tora Mekarorondo “ dalam konteks filsafat teramat perlu kita melihat dan memahami kaitan antara pulau Wawonii dan filsafat?
Filsafat berasal dari kata Philia yang berarti cinta dan Shofia yang artinya Kebijaksanaan. Pulau Wawonii yang berbentuk " Hati " telah menyimbolkan keduanya, antara cinta dan kebijaksanaan. Kedua hal tersebut menjadi wilayah hati untuk menterjemahkan rasa dalam ekspresi yang mengandung nilai-nilai spritualitas sejati. Dalam tatanan kehidupan antar manusia Wawonii yang terdiri dari berbagai corak dan karakter, hasrat dan keinginan yang beragam, namun berada pada satu bingkai kesatuan budaya dan peradaban, adat istiadat dan tradisi serta, kesatuan bahasa. Maka muncul kecerdasan spritual manusia Wawonii untuk sebuah pandangan kesederhanaan tentang kehidupan yang di dasari dengan nilai-nilai sosial tradisi dan adat istiadat menjadi “ Kepribadian Wawonii “.
Atas dasar pemikiran dan kesatuan pandangan manusia wawonii dalam sebuah tataran kehidupan untuk membentuk kesatuan budaya dan peradaban dalam satu kesatuan pulau yang berbentuk hati, maka muncul Filsafat ke Wawonii an yang di sebut “ TORA MEKA RORONDO “. Yakni faham atau ajaran MONO TRIASISME sebagai pandangan pemikiran yang mendasarkan pada 3 (tiga) esensi dasar kehidupan yakni
1. Mekadampangi ( saling Peduli )
2. Mekapotorai ( saling menghidupi )
3. Mekakokolaro ( saling mengasihi ).
Ketiga unsur dari ajaran tersebut merupakan satu kesatuan tunggal ( Mono Triasisme ) pandangan terhadap sikap dan tindakan manusia sebagai hakikat kodrat pribadi manusia dalam pengabdiannya di atas bumi ini, sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan yang memiliki misi penting yakni untuk kemakmuran bumi dan saling menyayangi antar sesama manusia. Sehingga ajaran ini dapat di sebut sebagai “ Ajaran kasih sayang “ dalam filsafat Psykologi, namun pada aspek yang menyangkut segala kehidupan manusia dapat melakukan interaksi sosial terhadap berbagai aktifitas hidupnya, hingga pada wilayah ini dapat melahirkan filsafat nilai atau Aksiologi.
Sebagai bagian dari misi penting itu maka manusia yang berdiam di Pulau Wawonii atau pulau hati telah Tuhan peruntukkan, memiliki kepekaan rasa, cinta dan kasih sayang serta bijaksana untuk mengurusi kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman serta kebahagiaan hidup bagi seluruhnya yang berdiam di pulau itu. Setiap manusia Wawonii menginginkan hidupnya dalam keadaan baik, sejahtera dan bahagia. Untuk mencapai tujuan itu di perlukan suatu sitem pemikiran yang sesuai dengan hakikat manusia dalam kehidupannya, maka lahirlah pandangan-pandangan filosofi lokal kewawoniian seperti " KAI TORA INIA KATO TORA ", Susamiu Susangku Toramiu Torangku, Mesepe Kato Ombole, Meumpu Kato Ondau, Mepida Kato Malanga, Meboke kato moroso, serta Itaho Topekandai Metaga ronga Mebose Tepobungku dan lain-lain. Semua itu merupakan Glosarium Hikmah dan memiliki kandungan makna hakiki yang harus di urai dalam aplikasi kearifan lokal dan di terjemahkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan baik dalam kehidupan sebagai individu, kelompok/komunitas maupun dalam masyarakat global. Pemikiran ini adalah argumentasi ungkapan/pernyataan, sikap maupun tindakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai indikator manusia yang memiliki karakter, kebajikan, etika serta moral, dalam tatanan kehidupan manusia secara universal untuk menemukan Jatidiri nya yang utuh.
Mono Triasisme ajaran tersebut ( Mekadampangi, Mekapotorai, Mekakokolaro ) bagi masyarakat adat Wawonii, merupakan nilai-nilai dasar yang tumbuh dan berakar sebagai tatanan budaya, adat dan tradisi sebagai pilar utama yang memperkokoh sendi-sendi ajaran kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Mekadampangi memiliki pesan moral dan esensi ajaran bahwa manusia harus menjalin hubungan silaturrahim yang luas, mengembangkan tata pergaulan antar sesama, perhatian dan saling peduli sebagai keluarga dalam tanggung jawab kemanusiaan yang sama, karena manusia memiliki esensi yang sama yakni hamba Allah yang di beri tugas dan amanah yang sama sebagai khalifah fil ardh untuk memakmurkan bumi . Sehingga di antara manusia harus saling membantu ( mekatulungi) dalam hidup dan kehidupannya dan agar setiap beban tanggungjawab hidup merupakan tanggungjawab kebersamaan di antara sesama manusia.
Mekadampangi merupakan sifat realitas manusia sebagai makhluk sosial untuk hidup saling ketergantungan dan saling membutuhkan dengan sesamanaya, sehingga manusia harus selalu menjalin hubungan yang harmonis antar sesamanya untuk hidup rukun, tenteram dan damai. Manusia juga harus mengesampingkan sifat egois atau ke akuan pada dirinya, karena manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ketergantungan dengan yang lain yakni “ Manusia lain (masyarakat), alam dan Tuhan “
Pemikiran filsafat kewawoniian mendasarkan pada filsafat agama, yang memiliki unsur-unsur kepercayaan spritual, karena dimana pada zaman lampau sekitar abad ke 16 Masehi Pulau Wawonii menjadi basis Islam (pintu masuk islam ) pertama sebelum ke daratan Kendari. Hal ini telah membuktikan bahwa Pulau Wawonii di masa lalu merupakan “ HATI “ pengembangan islam yang menjadi ajaran cinta dan kebajikan. Munculnya pemikiran-pemikiran filsafat kewawoniian tidaklah mengherankan, karena di samping agama sebagai basis ajaran dalam tatanan kehidupan untuk saling bersilaturrahim, saling menghidupi atau saling memberdayakan agar memiliki kelayakan hidup juga menciptakan kondisi sosial yang harmonis untuk saling mengasihi, menyayangi dan saling mencintai antar sesama manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar