Renungan
Hidup
Setampuk jiwa yang bergetar, oleh sukma
yang bertasbih menyentuh nurani, menyingkap tabir kehendak dengan bias-bias
kebenaran hakiki. Raga yang mengelus penyesalan seraya tunduk pada sikap
pribadi yang rendah dan bijak, sebuah persembahan yang jauh menyurut kesalahan,
hingga keangkuhan duniawi tercipta pada sisi-sisi hidup manusia. Walau manusia
terlahir dari sosok yang sempurna, namun kadang tanpa sadar telah tunduk pada penyimpangan
perilaku yang naif, karena petaka arus zaman yang berliku hingga ucapan membias
keraguan tanpa kehendak yang nyata. Namun sikap telah menggoyang keadaban tanpa
sadar kalau kita telah terinjak-injak oleh hegemoni perilaku tanpa etika dan
moral. Sesungguhnya kalau kita mendalami akan filosofi hidup manusia bahwa kita
datang tanpa apa-apa dari pintu yang sempit “ rahim ibu “, namun oleh anugerah
Allah yang telah mencipta manusia menjadi keadaan yang sempurna. Allah memberi
dua mata tapi tidak melihat, memberi dua telinga tapi tidak mendengar, namun
hanya memberi satu mulut tapi terlalu banyak berbicara, sehingga Allah menarik
dengus nafas secara perlahan hingga menjadikan raga ini kaku terkujur yang
namanya kematian. Pada alam yang terbentang luas mestinya manusia harus bisa
menyelami samudera hidup, manusia harus berani mengungkap kebenaran, dan nurani
harus berani berkata jujur sesuai dengan bisikan qalbunya. Tapi apakah manusia
mau melakukan semua itu untuk mengingkari kehendak rasionya yang mengendarai
jiwanya untuk mengatakan tidak. Niscaya itu sebuah teka teki yang selalu
mengusik pada benak kita untuk menentukan sikap dan tindakan yang bijak dalam
kehidupan yang nyata. Semua akan jelas dan terbuka ketika kita lewat pada
pintu-pintu ketulusan, jendela keikhlasan serta pada ruang-ruang keagungan,
yang disana manusia akan di periksa dengan seksama tentang kesucian jiwanya dan
terhadap sikap dan perbuatan yang ia bawa dalam bentuk sebuah amanah baginya.
Allah akan menilik helai nafas yang masih tersisa untuk dihadapkan pada pemilik
kekuasaan atas alam ini seluruhnya.
Dengan batang-batang usia yang sudah
tinggi dan mulai uzur, seharusnya menyadarkan kita betapa ilustrasi alam yang
Allah cipta adalah sesungguhnya merupakan esensi kebenaran yang di permaklumkan
untuk mengingatkan kita akan kemaha kuasaan Allah yang tiada tandingannya.
Namun manusia latah, angkuh dan sombong karena menganggap dengan kemampuan
nalarnya ia bisa mengadakan segala sesuiatu yang di kehendakinya, sementara ia
lupa bahwa ia hanya di beri titipan kehendak dari pikiran dan nalar baginya
adalah sesuatu yang diciptakan Allah untuknya, agar ia mau memahami tentang
alam dan kehidupan yang luas sesuaai tuntutan amanahnya. Berbagai fenomena alam
raya yang Allah cipta, adalah bentuk penggambaran kepada kita bahwa di balik
ciptaan itu senantiasa ada hikmah besar yang tersingkap sebagai pelajaran untuk
kita maknai, kita terjemahkan pada latar kehidupan yang kita jalani sebelum datangnya
sebuah hari kematian yang sudah mulai mendekat dan pasti. Mestinya akal rasional
kita dapat menangkap tentang gejala-gejala kehidupan itu, karena Allah telah
membuka ruang dan waktu dengan kunci-kunci penalaran manusia, agar manusia mau
berfikir terhadap hidup dan esensi keberadaannya ia di lahirkan. Langit
membentang luas dan di tinggikan begitu kokoh tanpa dinding dan tiang
penyangga, berjuta bintang yang berkedip dimalam hari bercahaya tanpa sentuhan tangan
manusia dan rekayasa teknologi olah pikir manusia, lalu pada bola matahari yang
bersinar dan memberi energi kehidupan adalah sebuah keajaiban besar yang Allah
cipta sebagai jawaban bahwa manusia hanyalah sebagai ciptaan kecil dan terbatas
yang tiada arti apa-apa kecuali hanya dengan mengandalkan kesombongan yang ia
punya. Tapi mengapa manusia masih latah, sombong dan angkuh serta membanggakan
akan sebuah kreatifitas dirinya sebagai hasil ciptaannya sendiri? Padahal tanpa
ia sadari bahwa pada raga kemudian yang ia gunakan untuk beraktifitas adalah
berdasarkan kehendak ruh yang ia sendiri tak mampu mengenalinya.
Demi pada konsekwensi penghambaan
mestinya manusia meluruskan niatnya, sikap serta perbuatannya di antara
tanggung jawab dan amanah yang di bawanya. Manusia harus melakukan pembimbingan
jiwa untuk mencapai taraf-taraf kemuliaan diri serta martabatnya. Namun jika
kehendak yang di bawanya larut pada kebendaan duniawi, nilai materialistik dan
sikap hedonisme sejati maka dengan pasti manusia akan terpuruk pada dasar
kemungkaran yang akan menimbulkan bencana bagi dirinya. Sungguh dengan iradat
yang Tuhan beri dan pada fatwa yang benar, maka pintu anugerah kelak membawanya
pada sebuah ketegasan yang nyata dalam kesatuan tunggal antara kesatuan
perkataan dan perbuatan, antara kesatuan sikap dan tindakan yang di lakukannya
dan kesatuan antara niat dan perilaku berdasarkan seluruh kehendak pada ketulusan nuraninya. Maha
suci Allah yang telah menciptakan jiwa dan raga dalam sebuah kesatuan tunggal,
hingga manusia memperoleh buah kebajikan pada alam perlindungan yang Tuhan
cipta, terhadap cahaya keimanan yang Tuhan peruntukkan sebagai penerang untuk
mencapai kehadiratnya. Walau saja nurani bicara dalam kepastian yang
sesungguhnya tapi manusia dapat memperoleh predikat yang agung dan mulia,
karena pada intensitas diri yang bertasbih pada kebenaran akan menunjukkan
betapa manusia memiliki martabat, kejujuran dan hikmah dari binar-binar cahaya
iman yang terpancar pada hakikat ma’rifat yang tertanam dalam jiwanya.
Sungguh
keabadian yang sempurna adalah nilai-nilai taqwa yang tertancap kukuh pada jiwa-jiwa
yang suci dan manusia sebagai hamba patut membuka ruang-ruang qalbu sebagai
tempat terbitnya cahaya iradat yang Allah cipta dan meliputi segenap raga
sekalian yang utuh.
Tapi
mengapa manusia rapuh dalam pendirian? dan mengapa pula manusia lalai dari
kodrat nuraninya untuk menyatakan benar ataupun salah ? Pertanyaan tersebut di
atas adalah ungkapan perasaan yang hakiki dalam sebuah ideologi jiwa, dimana
pada taraf kondisi kepribadian manusia yang rendah dan labil maka menyebabkan
tingkat fluktuasi emosional manusia akan terjadi. Sehingga bentuk-bentuk
penyimpangan pada diri dalam wujud tindakan dan perilaku maupun pada bentuk
ketetapan pikiran yang selalu berubah-ubah. Manusia dengan kecenderungan
berfikir materialistik dapat menghamba pada loyalitas duniawi karena hegemoni
terhadap kebutuhan manusia yang mendewakan kebendaan materiil. Betapa sulit
bagi manusia untuk menampik, mengelak dan bahkan menghindarinya, karena ia
telah terperangkap pada dimensi materialisme global dengan alasan kepentingan
kesejahteraan.
Walau
manusia sebagai insan yang lemah dan naif dapat di beri predikat mulia baginya,
karena pada manusia di beri dua unsur potensi sekaligus yakni akal dan hati.
Dengan akal manusia di beri nalar untuk berfikir analitis dan dengan hati
manusia di beri jiwa untuk memaknai hidup dengan sifat-sifat atas kodrat
kemanusiaannya. Jika di antara keduanya dapat berjalan seimbang dan padu maka
sungguh predikat mulia itu dapat memberi makna identitas hidup yang benar dan
bahwa manusia sebagai makhluk sosial dapat memiliki martabat yang tinggi untuk
memegang amanah kemaslahatan bagi semuanya. Karena itu manusia telah memeiliki
potensi fitrah kesucian untuk menjadi pewaris alam ini sekaligus khalifah fil ardh
untuk memeliharanya. Namun dengan memiliki sifat lemah dan pelupa itu sangat
manusiawi, sehingga manusia dapat di permaklumkan bahwa untuk menyatakan benar
atau salah adalah sebuah pilihan dari konsekwensi jiwa yang harus ia terima
dalam menentukan sebuah nilai hidup. Karena itu dalam filsafat hidup manusia,
konsistensi, integritas, keteguhan dan prinsip moral serta ideologi yang kuat adalah kenyataan
kehendak bathiniah sebagai nilai-nilai moral kebenaran atas eksistensi
kehambaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akidah serta tauhid yang
sempurna, sehingga ia tidak mudah goyah, rapuh bahkan kecewa dan putus asa.
Rintihan Jiwa
Walau
bagi manusia untuk menyatakan yang benar itu susah dan untuk berucap yang salah
itu sangat mudah dia lakukan, karena mungkin hegemoni sebuah loyalitas zaman
yang berubah dan di jadikan sebagai alasan pembenaran. Namun ketika orang
berbicara kebenaran atau kepastian untuk menunjukkan kejelasan sebuah prinsip
terhadap konsistensi jiwa, tentu saja nilai-nilai hakiki tentang kehidupan akan
selalu berhubungan dengan moralitas atau etika keadaban manusia yang harus di
penuhi. Sehingga problematika tentang kegaduhan, kebimbangan, kegalauan dan
bahkan trauma dalam memandang sesuatu yang naif adalah bentuk penyimpangan
psykologis yang di identikkan dengan psycosomatic yang memerlukan terapi sosial
agamis \atau terapi spritualitas.
Dalam
banyak hal pada setiap lembar kamus alam telah memberi pelajaran pada kita
bahwa dengan munculnya berbagai fenomena hidup yang kadang tak mampu di tangkap
rasionalitas manusia, adegan-adegan kosmis yang membawa sindrom baru tentang
hidup manusia adalah sebuah desain dan formulasi yang membingungkan. Apakah manusia
harus kembali pada orientasi zaman lampau dimana sistem nilai yang tumbuh dan
berakar pada sendi-sendi kehidupan yang serba ortodoks ataukah kemudian manusia
harus memulai hidup dengan konsep gila untuk menata hidupnya kemasa depan?
Sederet
imajinasi dan fenomena sosial yang terjadi telah mengundang perhatian banyak
pihak untuk memberi pencerahan terhadap nilai-nilai kehidupan nyata. Berbagai
gerakan pencerahan yang di lakukan untuk membentuk sebuah pribadi sederhana dan
mampu menangkap sinyal-sinyal realitas yang terpendam. Walau demikian di
berbagai sudut negeri masih saja terjadi kesenjangan dan praktek-praktek
ketidak adilan yang nota bene adalah penzaliman terhadap sesama kaum penghamba
di mata Tuhan. Sebuah pesan dari fatwa-fatwa kebenaran mencoba memberi ruang
pada bilik-bilik jiwa manusia, sentuhan paradigma ketulusan untuk memberi warna
pengabdian sesungguhnya, hingga nurani dapat berkata sesuai kehendak dari
bisikan kebenaran yang hakiki. Dari pesan-pesan kebenaran itu menginspirasi
lahirnya gerakan jalan lurus untuk mewadahi terbentuknya pencerahan nurani atas
ketimpangan moralitas yang terjadi.
Gerakan
jalan lurus atau gerakan nurani adalah sebuah gerakan moral yang bertujuan
untuk memberi pencerahan pada jiwa yang bisu, pekak dan tuli, agar dalam
kehidupan kita sebagai hamba dapat beroleh jalan yang lurus berdasarkan risalah
kebenaran yang nyata sebagai pembawa amanah yang mulia. Gerakan ini
sesungguhnya telah merasuk pada lubuk hati bagi jiwa penghamba, walau kemudian
mereka tidak mengejawantahkan dalam nilai-nilai kehidupannya, itu telah berarti
penzaliman terhadap dirinya sendiri. Pandangan-pandangan yang jernih dan lahir
melalui kesadaran nurani bagi manusia merupakan sebuah revolusi mental terhadap
upaya upaya perubahan diri, sehingga pada taraf dimana manusia dapat memperoleh
reputasi yang tinggi dapat pula menunjukkan bahwa apa yang kemudian ia lakukan
adalah penyederhanaan kebajikan dari hakikat pandangan secara maknawi, sebagai
hamba Tuhan pada sebuah jalan yang tanpa kecuali setiap manusia harus pula
melaluinya.
Hal
ini tentu adalah lazim karena manusia memiliki karakter yang unik dan selalu
dipahami, sehingga kadangkala sifat dan tindakan yang ia lakukan selalu tidak
bersesuaian antara perkataan dan perbuatan sebagai konsekwensi nuraninya. Disana
manusia perlu mendapat bimbingan rohani, pelatihan mental dan pencerahan watak
di dalam menjalani aktifitas hidup menuju cita cita material yang ia capai
dengan sempurna. Manusia selalu memiliki keinginan dan cita cita yang tinggi,
manusia selalu mempunyai mimpi mimpi indah dan imajinasi yang cemerlang, namun
tak mudah untuk mewujudkannya. Kreatifitas yang berliku dan tanpa batas adalah
hal biasa dimana manusia selalu mencoba dengan konstruk fikir dan nalar yang
tajam, namun apa yang terjadi adalah pada batas maksimal upaya manusia dari
factor trasendental ketergantungan, harus dipahami bahwa sesungguhnya ada nilai
supra dibatas alam ini yang menentukan segala kepastian yang sempurna. Manusia
punya rencana dan Allah pun punya rencana namun rencana Allah lah yang lebih
pasti. Tapi apakah manusia tidak pernah menyadari akan keterbatasan dirinya, ia
lahir tanpa apa apa lantas kemudian ia dirawat dan dibesarkan tanpa sebuah
kemampuan apa apa pula, hingga iapun tumbuh dewasa dan berhasil. Setelahnya ia
merasa bahwa semua apa yang ia miliki merupakan upaya baginya berdasarkan
kemampuan nalarnya termasuk kesuksesan yang ia peroleh. Padahal atas serentetan
semua peristiwa yang menyelimuti alam hidup manusia termasuk fenomena ajaib
yang tak mampu dijawab oleh alam fikiran kita, adalah ujian Allah bagi orang
orang yang mau berfikir dan mau menggunakan nalarnya. Namun adakah ruang untuk
menterjemahkan kejadian alam ini dengan kemampuan rasio berfikir? Adakah
pencipta selain Allah yang menggerakkan perjalanan tata surya tanpa rumus dan
angka angka namun dengan kenyataan yang pasti? Sungguh manusia tidak pernah
menyadari bahwa keberadaan dirinya hanyalah di utus untuk menjelajahi alam ini
agar ia mau menggunakan akalnya untuk berfikir. Betapa maha kuasanya Allah
menciptakan alam ini, dengan tujuh petala langit yang ditinggikan dan tujuh
lapis bumi dihamparkan tanpa manusia tahu apa apa. Apakah manusia masih akan
berlaku sombong dengan mengandalkan kemampuan
akalnya, sementara ia sendiri tanpa tahu kapan ia dilahirkan dan kapan pula ia
akan dimatikan.
Dengan
semakin mendekatnya kecenderungan tanda tanda zaman terhadap perubahan sudut
pandang maknawi maka selayaknya kita patut mempersiapkan diri dengan
menumbuhkan gerakan revolusi mental melalui konsep spritualisme religius dalam
bentuk bentuk kehidupan nyata dan dinamis. Kehidupan yang bahagia dan abadi
hanya akan dapat diperoleh melalui jalan lurus menuju pintu pintu ma’rifat,
agar kita dapat beroleh nikmat dan berkah yang agung berdasarkan kehendak Allah
maha kuasa pemilik alam ini seluruhnya. Doa yang tulus menyertai jiwa jiwa yang
suci untuk meniti jalan anugerah melalui tangga tangga keikhlasan yang sempurna
menuju liqa Allah. Amin, amin ya rabbal alamin.
Dalam
rangka pengabdian itu manusia harus memiliki landasan moral dengan jiwa yang
suci, harus memiliki kepatuhan pada norma-norma dan etika. Setiap hamba harus
dapat mengejawantahkan nilai-nilai dan norma yang berlandaskan pada kesucian
jiwanya, sehingga apa yang akan di emban sebagai amanah akan memiliki aplikasi
yang murni terhadap pengabdiannya. Namun teramat sulit untuk merekonstruksi
jiwa yang sudah terlanjut kotor dan bengis, karena ia telah bercampur aduk dengan
sifat-sifat kebinatangan yang selalu di kendarai oleh nafsu dunianya sendiri
tanpa berusaha untuk mensucikannya kembali.
Ketika
Jiwa saat masih berdiri sendiri dan memiliki cahaya sendiri tanpa ada yang
menutupinya, sehingga pintu-pintu kosmis masih terbuka untuk memandangi
kegaiban secara maknawi. Jiwa masih belum berbaur dengan unsur materi yang
memiliki kemauan, kehendak dan nafsu, jiwa masih memiliki kesadaran, kemurnian,
ketaatan dan kepatuhan, sehingga ia memiliki hakikatnya sendiri tanpa keterpengaruhan.
Namun manusia adalah makhluk yang memiliki replika keduanya, di samping ada
unsur jiwa yang suci juga manusia memiliki
raga yang tersusun dari unsur-unsur materi, sehingga memiliki dorongan
sifat-sifat kemanusiaan yang di kendarai oleh protektif nafsu untuk melakukan
sifat-sifat kehambaan terhadap kemegahan duniawi yang cenderung deflektif.
Sehingga terjadi pertentangan di antara keduanya dan menimbulkan dekadensi atau
kemorosotan yang cukup drastis. Kemerosotan dan gradasi tingkat penyadaran hakikat
diri menyebabkan ruang-ruang qalbu telah dominan pada keangkuhan tanpa cahaya,
sehingga cenderung menimbulkan sikap dan tindakan destruktif yang jauh
meninggalkan pesan-pesan kebenaran. Jiwa
telah tertutupi kegelapan, nurani telah tertutupi oleh gemelayut irama
hedonisme dunia yang bebas tanpa moral dan adab. Refleksi keindahan dunia nyata
telah jauh membawa pikiran manusia untuk melampaui batas dari sifat-sifat yang
mengandung kebenaran.
Hati
yang ibarat rem seharusnya dapat menghentikan laju kendaraan pikiran dan nafsu
yang mengendarai jiwa manusia untuk melakukan sebuah kemungkaran, namun ia akan
berjalan tanpa cahaya yang dapat menerangi arah pandang yang akan di laluinya,
karena hati tak lagi memiliki cahaya iman untuk mencerah arah pandang hakiki
bagi eksistensi manusia itu sendiri. Manusia lupa diri, manusia terlupa dari
mana ia di lahirkan! Manusia tenggelam dalam lautan maksiat yang mendurhakai
dirinya sendiri. Hingga pada kenyataan hidupnya di dunia yang serba megah,
membenamkan kesucian yang melandasi iman, menenggelamkan hakikat pencahayaan
pada dirinya untuk bangkit menyatakan ketinggian akan nila-nilai perwujudan
kebenaran yang di embannya. sebagai konsekwensi utama atas kehadiran dirinya di
atas dunia yang fana.
Manusia
harus melakukan perenungan untuk menyadarkan dirinya kembali, harus
mengingatkan janji-janji suci pada pertalian ruhnya, ketika ia masih di alam
ruh. Manusia harus membersihkan dirinya dari selaput dosa yang melilit pada
jiwanya dan manusia harus banyak beristighfar memohonkan doa dan keampunan,
agar jiwa yang terbenam dengan kegelapan dapat memancarkan cahayanya kembali,
dapat memiliki sinar pencerahan hingga
kelak dalam hidupnya akan menunjukkan amanah dalam tanggung jawab yang di bawanya
sebagai konsekwensi hidupnya.