Selamat Jalan dalam
“ PENANTIAN TERAKHIR” ku
“ PENANTIAN TERAKHIR” ku
Karya :
Arief Gazali Sidek
Di bawah kolong langit biru, saat aku
termenung hampa dengan arak senja yang seketika menghampar memenuhi blantika,
mengingatkan pada kisah hidupku yang terpental mengusik dinding dinding alam
masa laluku yang suram. seraya menyentuh ruang ruang qalbu dengan jiwa yang tersayat oleh duka dengan
perasaan perih, memendam suasana haru di tengah samudera kehidupan.
Kerinduan telah membuatku hanyut pada lembah yang tajam, dengan perasaan hampa aku
tersungkur pada jurang terjal tak
bertepi diantara tebing tebing bebatuan , hingga akhirnya air matakupun meleleh
dan bercucuran membasahi pipi dan tertumpah pada bumi dimana tempat aku
berpijak seketa.
Aku bingung dengan duka yang
menghanyut tanpa harapan, tak tahu entah angin apa yang hendak mengantarkan
hasratku kemari, sembari memaknai kebisuan yang merenda kesunyian malam , hingga awan putih yang menghias langit
tak mampu berkata apa apa pada angkasa, untuk
mengapungkan watak dengan sikap sikap
yang rendah dan jujur atas
kepribadianku, mata sayup berbinar telah menatap lama untaian harapan dalam
bayang bayang mimpi, untuk menggenggam ketulusan atas segenap jiwa yang meratapi
keharuan walau ada di dasar samudera.
Hari hari yang lembut dimana jiwa ini
telah meneguk embun salju, sederet angan angan kuat yang mengikat sebuah optimisme palsu, namun tali kasih yang mesra dahulunya
telah menebarkan semangat yang tinggi, hingga angin berhembus dengan semilir
basah yang menawarkan keanggunan di senja hidup tanpa keraguan. Demikian janji suci
menetapkan cinta, menyeru bersama sang
kekasih dan akhirnya aku harus memulainya dengan bias bias yang patah, pada
dinding dinding langit dengan sebuah fatamorgana yang diam.
Sebuah keyakinan yang tinggi untuk
menelusuri peraduan sang waktu dari perjalanan mentari dibalik awan megah, menyentak singgasana ke ufuk barat dengan badai badai kelesuan
yang menerpa . Tak tahu entah kemana aku
harus mengayuh biduk senja ini dengan kemudi yang patah, bersama riak riak
samudera menggoyang bahtera harapan menuju pantai bahagia kedarat sejahtera,
namun ketika binar binar cinta telah menelanjangi hatiku pada ratap ratap yang
rendah untuk menyatakan bahwa jiwa suci
yang terpendam pada sukmaku yang dalam melahirkan bias bias yang nyata,
sehingga badanku rebah terbuai oleh
kelesuan mimpi tanpa semangat.
Entah kemana kaki ini harus melangkah untuk menetapkan alur alur kerinduan yang membahana
dalam jagad raya yang tuhan cipta, akupun tak tahu entah kapan harus jeda
mengukur kaki kaki langit yang tak
berujung, untuk mengejar harapan dari
wajah wajah sendu yang Tuhan peruntukan.
Walau susah merangkai kembang anugerah ditengah badai gurun, namun aku tetap
tegar menghadang matahari yang menyengat raga. Seorang bidadari suci menyentak
jiwaku dengan penuh harap dan bahwa cintaku telah membimbing hasrat kebenaran,
untuk menelusuri lorong lorong waktu , mencari
kemuliaan dengan jejak langkah yang tak pasti entah dimana harus
memulainya. Aku hanya tertengadah di alam bebas menghadapkan muka untuk sebuah
penghambaan, atas gema setiaku ternyata jiwaku tetap teguh pada sebuah
penantian terakhir.
Bertahun tahun aku menanti kepastian
memenuhi suara suara kebajikan yang menghangatkan ragaku dari sisi yang
memendam damai, namun tak kusangka kalau akhirnya harus tersesat pada belantara
hidup dengan pandangan gelap, mengejar bidadariku yang berlari menyusuri
blantika hingga membuatku terhimpit pada lapis lapis penantian.
Oh
…… bidadariku, betapa teganya kau membiarkan aku sendirian ditengah
rimba raya kesunyian dan belantara duka, bertahun tahun aku mengharapkanmu
kembali bersamaku untuk merangkai bunga bahagia diantara kita, walau kau berada
jauh disana tanpa gema doa, namun
dihatiku kau adalah malaikat kecilku yang selalu membimbing tanganku,
menggenggam jemariku untuk memulai jalan ini sampai kepantai indah ditaman
firdausmu.
Sungguhpun dengan jiwa yang lesu dan
raga yang lemah, aku mencoba melangkah pada ujung ujung penantian yang ketika
dahulunya kita mulai merajut benang cinta, yang kemudian memberi spirit juang
untuk bisa mencapai tahta keabadian yang sempurna.
Walau demikian api api semangatku tak
akan pernah surut membakar ladang cinta dari budi yang rendah, untuk sebuah
pengharapan Allah memperuntukan mahligai yang indah dalam hidupku sebagai
persembahan atas ketulusanku.
Sangat kusadari bahwa menanti bukanlah
pekerjaan yang mudah kulalui, namun kalaupun itu yang menyebabkan nafas ini
berpisah dari ragaku adalah sebuah konsekwensi hidup dari pengabdian, yang
sesungguhnya Allah telah mengetahuinya. Tidak ada pilihan lain karena Allah
telah menetapkan jalan yang harus kutempuh sebagai amanah titipan yang harus
pula kuterima sebagai takdir yang hakiki.
Walau itu kemudian bukan kodratku,
karena aku harus kuat menghadapi rintangan seberat apapun, termasuk meratapi
perasaanku sendiri, namun aku bukanlah baja tanpa sukma, aku bukan batu yang
tanpa nurani untuk mengungkapkan perasaan dengan jiwa jiwa yang halus.
Aku adalah insan yang memiliki hati
dan memiliki jiwa, aku adalah pemilik benang benang rindu untuk merajut asmara
dan cinta dan aku adalah pemilik ketulusan yang memadu antara helai helai nafas
dengan keindahan raga dalam satu keterpaduan yang sempurna.
Walau semua itu telah menjadi
kenyataan pahit atas abdiku, maka dibawah kolong langit ini akupun pasrah
meletakan benih benih kebencian pada nuraniku sendiri, seraya membuka pintu
pintu hatiku untuk melepasmu pergi, terbang bersama sang waktu di alam yang
sempurna. Aku rela tinggal diujung jalan tanpa ada yang menemani, dibatas
negeri yang sunyi sepi tanpa
penghuni, surut kelaut lepas bersama zaman sekalipun tanpa cinta dan tanpa
harapan.
Wahai ….. Bidadariku !
Sebongkah berlian yang tersemat
dihatimu, setampuk harapan yang menggenggam semangatmu, terbanglah dengan hati
suci seputih cintaku. Aku tetap mengharapkanmu kembali diujung batas penantian
sampai helai helai nafas lepas dari ragaku. Selamat jalan dalam penantian
terakhirku.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar