Perlunya Revitalisasi Kearifan Lokal Wawonii Dalam Pembangunan Daerah Konawe Kepulauan

PERLUNYA REVITALISASI KEARIFAN LOKAL WAWONII DALAM PEMBANGUNAN DAERAH KONAWE KEPULAUAN

Oleh : Abdul Mutalib Taslim

Kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya lokal dapat dimaknai sebagai filosofi hidup, pandangan cita-cita hidup yang mengakomodasi kebijakan dan kearifan akan nila-nilai hidup. Di Wawonii yang terdiri dari banyak suku dan etnis dan telah berinteraksi dan hidup bersama sejak lama berlapis generasi dapat dianggap sebagai miniatur peradaban holistik dan pluralisme Nusantara karena adanya berbagai suku dan interaksi sosial yang memiliki watak dan karakter dengan elaborasi budaya yang beragam sehingga kearifan lokal itu tidak hanya berlaku pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik yang membentuk nilai budaya yang bersifat elaborasi kebinekaan Indonesia.Walaupun suku Wawonii masih merupakan suku dominan atau suku asli yang memiliki bahasa, adat istiadat, budaya dan kearifan lokal yang secara turun-temurun menjadi warisan leluhur.

Dalam era globalisasi yang banyak menawarkan gaya hidup pragmatis dan konsumtif, praktik hidup dengan gaya modern, glamour dan kebebasan berekspresi adalah hal yang mereduksi tata nilai budaya dan kearifan yang menjadi pusaka leluhur nenek moyang.Secara faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan filosofi hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin pragmatis. Kebiasaan-kebiasaan tradisi yang bernilai kesantunan sosial seakan terkikis dan mulai ditinggalkan secara perlahan.

Kearifan Lokal juga dapat di maknai sebagai Identitas dan Ideologi Bangsa, yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Sehingga dalam banyak hal tentang etika masyarakat terkait sikap hidup yang mencerminkan akan nilai-nilai budaya dapat mengimplikasi moral ajakan semangat dan etos kerja untuk meraih keunggulan, juga dalam hal keharmonisan sosial dan alam. Budaya wawonii pun yang mengenal prinsip gotong royong dan toleransi termasuk kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam atau hutan harus dapat dimanfaatkan seperlunya bukan untuk dikuras habis yang berakibat pada dampak lingkungan yang lebih besar dan menyebabkan manusia menjadi korbannya. Peristiwa-peristiwa alam seperti banjir, longsor dll merupakan bencana yang timbul karena tidak adanya keseimbangan alam yang terjadi atas ulah manusia yang mengesampingkan kearifan lokal sebagai falsafah hidupnya.

Pulau Wawonii yang memiliki potensi dengan sumber daya alam yang melimpah idealnya,Wawonii dalam kurun waktu tertentu harus menjadi daerah yang maju, dengan konsep membangun Kota yang ramah lingkungan dengan hutan akan tetap terjaga kelestariannya. Perlu di ingat bahwaWawonii hanyalah pulau kecil yang jika eksploitasi lingkungan terus dilakukan maka akan terjadi gradasi struktur lingkungan yang ekstrim dan pada gilirannya akan terjadi kehancuran habitat dan ekosistem makhluk hidup terutama berkurangnya debit sumber daya air yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Hal ini perlu upaya pelestarian alam atau lingkungan dengan melakukan gerakan lestari alam yang bertujuan untuk menjaga sendi-sendi lingkungan agar tidak terjadi penghancuran termasuk merevitalisasi hutan mangrove sebagai penyangga pantai bagi kehidupan sumber daya pesisir.

Dalam masyarakat Wawonii sendiri sering terjadi aktifitas ekstrim yang mereduksi nilai-nilai toleransi dan kearifan. Pada konteks perubahan nilai sosiokultural juga terjadi pergeseran orientasi nilai. Masyarakat yang cenderung makin pragmatis dan berorientasi pada budaya uang serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang disodorkan kekuatan global kapitalisme.Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah berubah. Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas yang terjadi kini bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari.

Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. . Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi

Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi dalam berbagai kebijakan negara.

Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika berbuat salah). Akan tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu telah luntur.

Kita memiliki “aset spiritual” berupa kearifan lokal dan etika agama yang ada. Namun, dalam perjalanan sejarah, tampaknya daerah kita semakin terkooptasi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik global yang didominasi oleh negara maju. Tanpa revitalisasi, kearifan lokal yang sesungguhnya juga merupakan identitas bangsa, kita akan semakin kehilangan jati diri di tataran nasional dan dunia.

Langara, 20 Maret 2016
WAWONII BERSINAR
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *